Megang (Makmeugang)
yang sebenarnya merupakan wujud kepedulian pemimpin (Raja) kepada
rakyatnya pada saat menyambut hari-hari besar seperti Menyambut datangnya
bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan hari Raya Idul Adha dengan cara
membagi-bagikan daging untuk dinikmati oleh masyarakat bersama keluarga,
terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (mayarakat miskin).
Bebarapa hari sebelum datangnya hari makmeugang, raja mendaftarkan
keluarga-keluarga yang dianggab kurang mampu melalui perwakilannya. Tradisi
tersebut sampai dengan saat ini masih juga dilakukan/dijalankan oleh masyarakat
aceh sesuai dengan perkembangan zaman walaupun caranya sudah jauh berbeda. Para
pemimpin tidak lagi membagikan daging seperti yang dilakukan oleh pemimpin
dahulu namun ada juga para pimpinan baik itu pimpinan instansi pemerintah
maupun pemimpin perusahaan ada yang menyediakan sejumlah santunan meugang dalam
bentuk uang.
Masyarakat Aceh saat ini
merayakan tradisi meugang dengan cara rame-rame membeli daging pada
pedagang ataupun membeli lembu dengan cara mengumpulkan uang dalam satu
kelompok masyarakat dengan jumlah anggota kelompok disesuaikan dengan kempampuan
anggaran anggota untuk membeli seekor sapi yang akan disembelih dan
dagingnya dibagi sesuai dengan jumlah uang yang dikumpulkan. Hal ini sesuai
dengan yang diterangkan seorang tokoh Aceh Besar H. Marwan Muhammad yang
dimintai pendapatnya di salah satu warung kopi kawasan Pasar Lambaro kecamatan
Ingin Jaya.
Cara membeli sapi dengan
mengumpulkan uang inipun, menurut tokoh pemerhati sejarah itu, saat ini sudah
mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih membeli daging dengan cara
yang lebih praktis pada pedagang daging maupun pada pedagang daging musiman
yang kerab muncul pada menjelang hari-hari makmeugang tersebut.
Tradisi makan daging pada
hari makmeugang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat aceh baik itu
masyarakat bepenghasilan rendah maupun masyarakat mampu, karena bagi masyarakat
aceh merayakan hari makmeugang menganggab itu bukan hal yang perlu
diperhitungkan dari segi biaya karena mareka punya keyakinan ataupun istilah
merakan makmeugang adalah sehari makan enak setelah setahun bekerja. ( sithon tamit
siuro tapajoh).
orang Aceh dahulu lebih
suka membeli daging dengan cara mengumpulkan uang dan membeli sapi untuk
selanjutnya dibagi dengan cara menumpuk karena dengan cara tersebut
mareka akan mendapatkan seluruh bahagian dari tubuh sapi walaupun jumlanya
terbatas menurut jumlah uang yang dikumpulkan baik itu daging murni,
lemak, jeroan, (isi dalam ), dan tulang yang sudah dipotong-potong
termasuk kulitnyapun dipotong-potong untuk dibagi sesuai porsinya sehingga
daging yang dibawa pulang siap untuk dimasak.
Sekedar diketahui harga
daging sapi di aceh merupakan harga daging yang termahal di indonesia bahkan
didunia sekalipun, walaupun hampir setatus persen dari penduduk aceh merupakan
petani yang rata-rata ikut memelihara binatang ternak sebagai salah satu sumber
pendapatannya. Saat menyambut hari meugang harga daging sapi maupun kerbau naik
secara drastis dan miningkat sangat tajam pada hari itu. Yang biasanya harga
daging per kg sekitar 130.000,-/kg menjadi 170.000,-/kg namun masyarakat Aceh
tidak bermasalah dengan harga yang tinggi yang penting dagingnya tersedia. (Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/tradisi-makmeugang-dalam-masyarakat-aceh/)
Selain membeli daging sapi atau kerbau kebanyakan penduduk aceh
juga memotong ayam dan membeli daging ayam pada hari meungang Juta Ekor Ayam
disembelih Pada Hari meugang tingginya permintaan ayam pada hari meungang
mengakibatkan para pedang harus memasok ayam dari sumatera utara karena
kekurangan stok dari dalam.
Lalu apa hubungannya Mak Meungang dengan bulu ayam seperti judul diatas. Pada hari meungang jumlah ayam yang dipotong mencapai jutaan ekor
maka potensi limbah bulu ayam juta mencapai puluhan ton. tetapi sangat
disayangkan bulu - bulu ayam tersebut dibuang begitu saja sehingga menjadi
limbah yang akan menjadi polusi udara akibat bau busuk yang timbul dari tempat
pembuangan sampah Rumah Potong Ayam (RPA). melihat potensi limbah yang melimpah
perlu adanya pengembangan inovasi bagaimana carannya memanfaatkan limbah bulu
ayam menjadi pundi - pundi rupiah pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat.
Pengolah limbah bulu ayam
dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak yang dijadikan tepung bulu kemudian
diolah menjadi konsentrat, kemudian bulu ayam juga dapat dijadikan kerajinan
tangan yang memiliki nilai jual yaitu diolah menjadi kemoceng. Kemoceng adalah
alat kebersihan rumah tangga untuk membersihkan debu - debu pada perabotan
rumah tangga.